Selama 350 tahun Belanda menjajah Indonesia, dari penjajahan model monopoli perdagangan yang dilakukan oleh kongsi dagang belanda yaitu Verenigde Oostindische Compagenie (VOC) sampai penjajahan model kolonialisme yang dilakukan sendiri secara sadar oleh Negara dan Pemerintahan Belanda. Banyak kerugian secara materi maupun non materi yang dihasilkan dari penjajahan Belanda terhadap penduduk-penduduk Dutch East Indies/Hindia Belanda (Hindia Belanda adalah nama Indonesia dulu yang disematkan oleh pihak Belanda saat masih dalam masa penjajahan).
Kerja paksa atau kerja rodi contohnya adalah kebrutalan yang dilakukan belanda kepada para penduduk Hindia Belanda terutama para pekerja kasar dari rakyat jelata yang mendapatkan upah tidak setimpal, malah kadang be honest pribumi yang bekerja menjadi mandor nya ikut melakukan pemotongan upah kepada pekerja alias korupsi terhadap bangsanya sendiri (di potong potong, kayak BLT aja wkwkwk).
|
Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral Hindia Belanda ke-36 yang menjadi pencetus kerja paksa/kerja rodi
|
Namun pada akhirnya kesadaran akan harus adanya keadilan ditegakkan di Hindia Belanda timbul. Seorang anggota parlemen Belanda dan asli orang Belanda yang bernama Conrad Theodor van Deventer memberikan dan menyatakan pendapat untuk melakukan balas jasa Pemerintahan Belanda terhadap Hindia Belanda.
Tahun 1899, Van Deventer ini membuat sebuah artikel radikal anti tesis dari pembahasan pembahasan kolonialisme pada umumnya. Artikel yang dia tulis berjudul "Een Ereschuld" atau dalam bahasa Indonesia "Hutang Budi" dimana dalam artikel ini dia menuliskan bahwa Belanda memiliki hutang jika dijadikan materi setidaknya 190 juta Gulden terhadap Hindia Belanda. 190 juta Gulden nilainya sangat besar belum jika kita konversikan nilainya dengan Rupiah sekarang di tahun 2021, sehingga tulisan dari Van Deventer ini jadi sumber perhatian para anggota dewan House of Representatives saat rapat pembahasan anggaran dana yang akan di keluarkan oleh Pemerintah Belanda ke Hindia Belanda.
|
Conrad Theodor van Deventer
|
Dari artikel Van Deventer inilah yang nantinya menjadi trigger atau pemicu yang disebut sebagai "Ethische Politiek" atau Politik Etis dimana Pemerintah Belanda akhirnya memberikan balas jasa kepada rakyat Hindia Belanda pada 3 bidang yaitu Pendidikan, Pertanian dan Program Transmigrasi. Pemicu yang dibuat oleh Van Deventer ini sangatlah impactful nantinya dalam sejarah Indonesia, dikarenakan efek domino setelah Pemerintahan Belanda memberikan kesempatan bagi masyarakat pribumi Hindia Belanda terutama bidang Pendidikan yang nantinya dari banyaknya pribumi di "sekolahkan" menghasilkan banyak tokoh tokoh Nasional yang kritis.
Sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) adalah salah satu contoh wujud Politik Etis yang dibuat pihak Belanda untuk bidang pendidikan. Awalnya STOVIA didirikan dengan berbagai macam alasan, selain memang murni dari kebaikan hati mereka kepada masyarakat pribumi Hindia Belanda di sisi lain ada alasan buruk juga. Dikutip dari buku Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies, pembuatan fasilitas pendidikan seperti sekolah kesehatan lebih untuk kepentingan akhir pihak Belanda pada profit dan pengakuan ke-superioritas-an mereka sebagai orang Eropa.
Adanya sekolah kedokteran yang menghasilkan dokter dokter pribumi yang kemudian di pekerjakan di site tambang-tambang milik Belanda dengan tujuan untuk merawat para pekerja kasar tambang sehingga para pekerja akan lebih energic dalam melakukan pekerjaanya biarpun pekerja-pekerja kasar ini mendapatkan upah yang kecil. Selain itu Belanda ingin mendoktrin para pribumi dengan obat-obat yang diproduksi oleh Belanda sehingga tertanam dipikiran orang pribumi kalo orang-orang Belanda atau bangsa Eropa atau white people lebih maju dan lebih superior dibandingkan mereka.
|
Sekolah Kedokteran STOVIA
|
Di STOVIA inilah lahir tokoh tokoh pergerakan nasional yang menjadi cikal bakal bibit tumbuhnya Indonesia yang sekarang. Dr. Soetomo adalah salah satunya, yang sekarang kita kenal sebagai Pahlawan Nasional dulunya juga adalah siswa dari STOVIA. Pada saat di STOVIA Dr. Soetomo memang dikenal sebagai sosok siswa yang radikal di mata Belanda, hal ini bukan tanpa alasan karena Dr. Soetomo membuat sebuah organisasi di saat dia masih bersekolah di STOVIA, organisasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik yaitu Budi Utomo.
Pendiri sekaligus menjadi ketua organisasi Budi Utomo, Dr. Soetomo memang menjadi perhatian baik bagi kolonialis belanda juga oleh para gurunya di STOVIA seperti ditulis Gamal Komandoko dalam Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa
(2008),
"Ketidakberhasilan mereka 'membina' Soetomo dan kawan-kawannya di jalur
yang dikehendaki pemerintah bisa jadi akan membuat mereka tampak salah
pada pandangan pemerintah. Kondisi yang membuat posisi mereka menjadi
runyam"
|
Dr. Soetomo
|
Belanda di saat itu benar benar melakukan pengawasan ketat terhadap organisasi Budi Utomo, organisasi milik pribumi ini ditakutkan bisa menjadi organisasi radikal dan dapat mengobarkan semangat nasionalime orang-orang Hindia Belanda yang dapat mengagalkan misi Belanda yang menginginkan mindset masyarakat Hindia Belanda mengakui secara willingly ketinggian orang-orang Belanda dan mau mengakui Pemerintahan Belanda atas Politik etis yang mereka telah lakukan selama ini. Seiring berjalannya waktu Budi Utomo masih tetap exist, namun puncaknya adalah pada era Budi Utomo yang diketuai oleh Pangeran Noto Dirodjo, terjadi pergolakkan yang sangat dinamis.
Pada saat itu, timbulah tokoh tokoh Pahlawan Nasional yang lain, 3 Serangkai yang akhirnya membuat partai yang berani menyatakan organisasi mereka bergerak pada politik pribumi "Indische Partij", Dr.Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara dan Ernest Douwes Dekker.
|
Dr.Tjipto Mangunkusumo (Kanan), Ki Hadjar Dewantara (Kiri), Ernest Douwes Dekker (Tengah) |
Awalnya memang Dr. Tjipto Mangunkusomo dan Ki Hadjar Dewantara adalah anggota dari Budi Utomo, namun dikarenakan Budi Utomo masih tidak mau melanggar perintah Belanda untuk tidak membuat organisasi politik akhirnya dua tokoh Nasional ini keluar dari organisasi Budi Utomo dan membuat organisasi partai politik bersama Ernest Douwes Dekker yang akhirnya di tentang oleh pihak kolonialis Belanda Keinginan mereka bertiga ini untuk mendirikan Indische Partij memang bukan tanpa alasan, contohnya Dr. Tjipto Mangunkusomo menentang habis-habisan bagaimana sistem upah yang di regulasi Belanda karena membedakan upah antara orang pribumi Hindia Belanda dengan orang ras Belanda padahal pekerjaan yang mereka lakukan sama.
Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya,
peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam
bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia
menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi orang Hindia Belanda. Demikian juga dalam perdagangan, orang Hindia Belanda tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak
sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa.
Selain pergerakkan yang dilakukan 3 Serangkai ini, Sarekat Islam yang di pimpin Tjrokrominito juga memberanikan diri mereka mengubah haluan dari awalnya organisasi kongsi dagang biasa menjadi organisasi politik. Dan seterusnya timbullah organisasi-organisasi yang mulai berani menampakkan corak warnaya, yaitu Nasionalisme dan anti kolonialisme termasuk organisasi PKI di masa itu.
Di daerah-daerah lahir organisasi pemuda seperti Jong Sumatera, Jong Java, Jong Borneo, Jong Celebes dan lain lainnya. Efek domino yang terus berlanjut akhirnya sampai ke ultima-nya yaitu adanya Kongres Pemuda I dan II 1926-1928 yang mana pemuda pemuda berdarah panas dari berbagai daerah Hindia Belanda bersumpah kalo mereka berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu.
Ir. Soekarno, Presiden pertama Indonesia mengatakan pada masa 1908-1928 inilah adalah masa "Kebangunan Nasional" atau sekarang kita biasa sebut sebagai Kebangkitan Nasional, yang sekarang pada setiap tanggal 20 Mei Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Nasional, hari dimana organisasi Budi Utomo di dirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Politik etis yang di desain untuk membuat mindset bangsa Indonesia untuk tetap mengakui Belanda akhirnya gagal, well mungkin pribahasa "senjata makan tuan" cocok untuk di sematkan pada sejarah ini. Terlepas dari niatan baik Conrad Theodore van Deventer untuk membantu bangsa Hindia Belanda ke arah lebih baik namun tetap saja jika penjajahan Belanda pada prakteknya sangat bertolak belakang dari keadilan.
"The miracle has happened. Insulinde, sleeping beauty, has awoken. Half dreaming still she raises herself from her resting place ... and moves her hand to cover her eyes to avoid bright sunlight. She directs her gaze to the West, as if she ecpects find there the answer to question of what is going to happen to her"
"Keajaiban telah terjadi, Insulinde, yang sedang tertidur telah bangun. Masih dalam setengah mimpi dia angkat dirinya dari tempat tidurnya ... dan menggerakkan telapak tangannya untuk coba menutupi matanya dari silau nya sinar matahari. Dia mengarahkan pandangannya ke Barat, berharap mendapat jawaban dari pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan dirinya"
Conrad Theodore van Deventer, Een Ereschuld (1899).
REFERENSI:
Pols, Hans. (2018). Nurturing Indonesia Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies. UK: Cambridge University.
https://voi.id/memori/21736/ketika-kampus-stovia-melahirkan-orang-orang-radikal-yang-mengancam-belanda
https://en.wikipedia.org/wiki/Conrad_Theodor_van_Deventer
https://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_Ethical_Policy
https://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Utomo
https://id.wikipedia.org/wiki/Tjipto_Mangoenkoesoemo
https://id.wikipedia.org/wiki/Insulinde
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerja_rodi